Selasa, 11 Januari 2011

Negeri Para Mafia

Gayus bukanlah sembarang nama, tapi telah menjelma menjadi ikon mafia Indonesia.  Gayus adalah tokoh sentral kolusi mafia pajak dan mafia hukum sekaligus.
Celakalah Gayus. Karena dia telah menjadi pintu masuk terbongkarnya jaringan mafia di lingkungan birokrasi dan institusi penegak hukum. Celakanya lagi, dalam sekali persidangan ia dituntut untuk empat kasus sekaligus.
Tapi Bukan Gayus, kalau tidak bisa berkelit. Selama menjadi tahanan ia malah pelesiran ke Bali, bahkan ke Singapura, Macau, dan Phuket (Thailand) serta meng-"up date" status facebooknya.
Sebagai mafia, ia memiliki kelengkapan jenis modus operandi. Ia juga memiliki pesona seorang mafioso, tak pernah menunjukkan ekspresi malu atau bersalah dan berdarah dingin.
Pegawai Ditjen Pajak yang memanipulasi pajak, menilep hasilnya, menyuci uang dan lantas menyuap banyak aparat penegak hukum untuk menutupi serangkaian kejahatannya itu sungguh telah membuat pemerintah panas-dingin menyikapinya. Namun Gayus diyakini tak sendiri, ia hanya puncak gunung es dari mengguritanya mafia di Indonesia.
Laksana Negara dalam kegentingan, presiden menerbitkan Keppres Nomor 37 tentang pembentukan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH) atau Satgas Antimafia Hukum, di penghujung tahun 2009.
Gayus Halomoan Tambunan bisa disebut salah satu pemicu kegentingan nasional itu.
Gayus, pertama kali inisial namanya disebut oleh mantan Kabareskrim Komjen Susno Duaji saat dipanggil Satgas Antimafia Hukum. Susno menyebut GT sebagai oknum pegawai pajak yang memiliki rekening Rp28 miliar.
Jumlah uang yang terlalu besar untuk ukuran pegawai golongan IIIA. Ketika kasus rekening mencurigakan itu mulai diusut dan keberadaan pemiliknya dicari, Gayus kabur ke Singapura.
Tim bersama dari Mabes Polri dan Satgas Antimafia Hukum menjemputnya ke Singapura pada akhir Maret lalu.
Tim penjemput dipimpin oleh Komisaris Besar M. Iriawan, Wakil Direktur I Badan Reserse Kriminal Polri, yang membidangi urusan kejahatan lintas Negara. Sedangkan dari Satgas turut mendampingi Denny Indrayana, Mas Achmad Santosa dan Yunus Husein.
Gayus kedapatan menginap bersama keluarganya di lantai 21 Hotel Mandarin di Orchard Road Singapura.
Malam itu pukul 22.15 waktu Singapura, tim penjemput perlu waktu sekitar dua jam untuk membujuk Gayus pulang.
Setibanya di Tanah Air, proses hukum terhadap Gayus merenggut banyak nama tersangka. Setidaknya ada 27 tersangka yang terlibat dalam permufakatan jahat itu.
Secara berjamaah mereka melakukan tindak pidana dalam  empat perkara utama berupa pencucian uang, mafia pajak, mafia hukum dan penyalahgunaan wewenang.
Para tersangka datang dari kelompok penyidik dan dua jenderal polisi; kelompok jaksa; pengacara dan pengusaha.
Terdapat 149 perusahaan yang diduga pajaknya diurus oleh Gayus dan dalam proses pembayarannya  mengandung unsur manipulasi, gratifikasi dan penyuapan.
Popularitas Gayus sebagai mafia tak tergoyahkan, meskipun menyusul ditemukan nama Bahasyim Assyifie yang diduga memiliki isi rekening lebih dahsyat dan lebih tinggi kepangkatannya di lingkungan Ditjen Pajak.
Deretan kasus yang dipelopori Gayus ini memang layak disebut gurita mafia.
Jalan hidup sebagai mafia tak hanya ditekuni oleh seorang Gayus yang relatif masih muda tapi seorang kakek-kakek seperti Anggodo Widjojo.
Bahkan berdua dengan kakaknya Anggoro Widjojo membeli hukum dengan kekayaannya. Sang kakak kepergok korupsi dan melarikan diri keluar negeri, tinggallah sang adik kelimpungan melindungi jejak kejahatan itu.
Keduanya nyata-nyata mengobrak-abrik tatanan hukum dan sekaligus moral aparatnya.
Anggoro merupakan buronan KPK dalam kasus korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu pada Kementerian Kehutanan. Dari sinilah awal ikhtiar Anggodo merusak tatanan hukum dimulai.
Sedianya ia beriktikad menyuap para pimpinan KPK melalui seorang makelar kasus (markus) Ary Muladi.
Tak berhasil, ia mengembangkan sayap dengan menghubungi para aparat penegak hukum di kepolisian dan kejaksaan. Juga merekayasa usaha penyuapan terhadap pimpinan KPK menjadi kasus pemerasan. Semua terekam dalam durasi 4,5 jam percakapan yang disadap KPK.
Melengkapi koleksi mafia Indonesia, ada juga yang wanita. Seorang markus Arthalyta Suryani. Perempuan parlente yang  malang-melintang menembus akses institusi penegak hukum.
Uang dan kelihaian lobi menyempurnakan keterampilannya meruntuhkan iman para pembuat keputusan. Jangan kira aksinya berakhir di penjara. Ia bahkan bisa menyulap penjaranya di Rutan Wanita Pondok Bambu menjadi kamar mewah , dengan jalan suap tentunya.
Seperti halnya Gayus yang terus melancarkan aksi suapnya hingga berada di tahanan.  Dalam kurun tiga bulan mendekam di tahanan Mako Brimob Kelapa Dua Depok, Gayus telah menyuap  Rp. 368 juta.
Suap itu diperuntukan Kepala Rutan Kompol Iwan Siswanto beserta 8 orang anak buahnya agar ia leluasa keluar masuk tahanan termasuk untuk menonton pertandingan tennis di Bali, ke Singapura, Makao dan  Phuket.
Demi Kemewahan Kalau saja kita semua tahu persis seperti apa cara mafia melahap uang negara dan untuk apa mereka membelanjakannya, maka rakyat niscaya akan mengalami kegemasan yang sangat.
Kesemua mafia mengambil uang rakyat secara tidak sah dan lantas membelanjakannya untuk kemewahan diri dan keluarganya.
Seperti anak dan istri mantan Kabulog Widjanarko Puspoyo saat memenuhi panggilan penyidik pidana khusus di gedung bundar Kejaksaan Agung, mereka  mengenakan kaca mata bermerk seharga puluhan juta. Itu baru kaca matanya, sebuah aksesoris pelengkap.
Bisa dibayangkan seperti apa pakaian, sepatu, telepon genggam dan kendaraannya?
Para pekerja media kerap menatap mereka dengan rasa gemas, apabila  rakyat kebanyakan berkesempatan pula melihat mereka dari dekat, niscaya akan mendapati kegemasan yang sama.
Rakyatlah pihak yang paling dirugikan dari perilaku korup para mafia hukum. Mereka semakin terjatuh dalam kemiskinan akibat hak-haknya terampas oleh koruptor.
Tengoklah, Kompol Arafat yang menjadi pelaku pembantu dalam rangkaian kejahatan Gayus. Ia menerima suap, salah satunya berupa motor gede berharga Rp700-an juta.
Sedangkan Gayus melengkapi kendaraan istrinya dengan Toyota Alphard. Belum lagi gemerlap kemewahan lain yang dipertontonkan tanpa sedikit saja beban sungkan.
Aksi Radikal Dibutuhkan aksi radikal untuk melumpuhkan jaringan mafia yang menggurita. Pakar Hukum Internasional dari Universitas Airlangga Surabaya I Wayan Titip Sulaksana menggagas perlunya hakim impor dari Belanda. Ia berpendapat, kasus seperti Gayus tidak akan mampu diselesaikan dengan solusi yang biasa-biasa saja.
Pengadilan sebagai gawang terakhir perlu dibenahi secara radikal,? ujarnya.
Kekhawatiran Titip tidaklah berlebihan jika melihat kenyataan bahwa seorang  Gayus  mampu menembus banyak pintu. Selama berstatus sebagai tahanan sejak  awal April 2010 ia bisa keluar-masuk rutan sebanyak 68 kali.
Dia malah keluyuran, melancong ke Macao, Thailand, Kuala Lumpur dan Singapura. Ada kemungkinan Gayus mengamankan aset di luar negeri atau menemui para `sponsornya.
Dalam sesi pelesiran itu Gayus terekspos tengah pesta miras, main biliar juga bersantai di pantai. Sebuah kemewahan yang tidak bisa dicapai oleh tahanan Mako Brimob yang lain, seperti mantan Kabareskrim Susno Duadji.
Pertanyaan yang otomatis muncul, siapa kekuatan di balik kepercayaan diri Gayus meledek aparat penegak hukum?
Lucunya, saran Titip Sulaksana untuk memberantas korupsi dengan cara radikal, juga datang dari mulut Gayus.
Dalam pembacaan duplik di hadapan sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 10 Januari 2011, Gayus menantang pemerintah untuk menjadikannya staf Kapolri.
"Jadikan saya staf khusus Polri atau staf khusus Kejaksaan, maka dalam dua tahun Indonesia akan bersih," ujar Gayus.
Jika dikabulkan, maka Gayus berjanji akan menangkap "big fish" yang selama ini masih belum tersentuh hukum.  Dengan kata lain, mafia hukum semacam Gayus yang sepak terjangnya membuat semua orang geleng-geleng kepala ternyata hanya mafia kelas teri, ia hanya `boneka?
Fenomena Gayus menimbulkan  kepanikan banyak pihak. Apalagi Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang jelas paling terganggu dengan eksistensi para mafia itu.
Dalam sebuah raker satgas di Istana Bogor belum lama ini, diundang seluruh pimpinan institusi penegak hukum secara paripurna. Dari ketua KPK, Kapolri, Jaksa Agung hingga ketua MA dan Menkopolhukam. Tak ketinggalan hadir ketua PPATK, ketua LPSK dan beberapa lembaga terkait.
Tekad mereka untuk duduk bersama, pastilah karena negara dalam keadaan darurat mafia. Forum ini membedah persoalan mafia mulai dari modus operansi, akar permasalahan hingga strategi penanggulangannya.
Menkopolhukam Joko Suyanto yang menjadi pembicara kunci mewanti-wanti agar aparat penegak hukum selalu sigap memberantas mafia dan jangan sampai kalah lincah dengan modus operandi mereka.
Kejahatan senantiasa berkembang seiring kemajuan teknologi. Bilapun regulasi belum memadahi, tidak bisa menjadi alasan terhambatnya penegakan hukum,? tandasnya.
Joko mengharap para aparat tidak "text book" dalam menerapkan undang-undang. Jika demikian, katanya, aparat pasti terlibas oleh aksi mafia yang lebih canggih.
Pada bagian lain Ketua KPK Busyro Muqoddas menggambarkan modus operandi mafia hukum. Menurutnya, mafia hukum dapat menjalankan aksinya dengan cara  kasar sampai yang paling halus.
Modus mereka yang paling halus adalah dengan mengakali pasal-pasal yang akan dipergunakan, jelas Busyro.
Menurutnya, jika yang mendapat suap adalah jaksa maka ia akan menggunakan pasal-pasal yang lemah dalam penuntutan. Sedangkan apabila hakim yang disuap maka akan dikreasikan interpretasi pasal yang meringankan terdakwa sebagai kliennya.
Atmosfer yang terbangun dalam empat jam raker pemberantasan mafia hukum ini sungguh membuat bulu kuduk bergidik. Negara ini seolah sudah terkepung oleh mafia di setiap jengkalnya.
Pada 2003 saja, Ketua Ikadin (waktu itu) Sudjono sudah menyatakan bahwa fenomena mafia hukum merupakan suatu "no cure disease", hanya Tuhanlah yang bisa memperbaiki.
Jika demikian, benarkah tak ada yang bisa dilakukan selain menunggu pertolongan Tuhan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar